Sabtu, 08 Januari 2011

SIKAP APATIS PENCETUS GOLPUT (GOLONGAN PUTIH)

Apatis adalah sikap masyarakat yang masa bodoh dan tidak mempunyai minat atau perhatian terhadap orang lain, keadaan, serta gejala-gejala sosial politik pada umumnya. Orang-orang yang apatis menganggap kegiatan berpolitik sebagai sesuatu yang sia-sia, sehingga sama sekali tidak ada keinginan untuk beraktivitas di dunia politik. Sikap itu muncul karena ada sebagian masyarakat yang sama sekali tidak memahami hakikat politik sesungguhnya. Hal ini muncul ketika norma-norma sosial yang selama ini ada didalam masyarakat mengalami kelonggaran, kegoyahan, dan kehilangan fungsinya.
Sikap apatis masyarakat terhadap politisi menjadi penyebab utama golput (golongan putih), golongan putih diartikan sebagai pilihan politik warga negara untuk tidak menggunakan hak pilih. Hal ini berkaitan dengan partisipasi politik.
Keinginan golput merupakan pilihan yang dilakukan secara sadar, karena kenyataannya dari dulu mulai kampanye hingga pemilihan akhirnya semua tetap sama saja, sehingga adanya sebagian orang yang mengabaikan Pemilu, dan bahkan meninggalkan tanah air karena merasa takut terjadi kerusuhan.
Kesadaran politik berarti sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sikap dan kepercayaan terhadap pemerintah lebih kepada penilaian seseorang terhadap pemerintah, apakah pemerintah dapat dipercaya atau tidak. Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan terhadap pemerintah yang tinggi, partisipasi politik cenderung aktif. Sebaliknya, apabila kesadaran dan kepercayaan rendah terhadap pemerintah, partisipasi politik cenderung pasif dan tertekan (apatis).
Salah satu alasan yang menyebabkan sikap apatis pada masyarakat umumnya adalah dengan adanya anggapan pada individu dan masyarakat bahwa partisipasi politik adalah hal sia-sia karena tidak pernah efektif. Pola pikir masyarakat melihat elite politik yang senantiasa selalu membodohi masyarakat.
golput adalah sikap penolakan atas apa pun produk kekuasaan, dan sistem sosial politik. Hal ini lahir dan berkembang karena sikap sinis dan kecurigaan yang sangat berlebihan terhadap politik, dan sering adanya perasaan bahwa politik adalah sesuatu yang kotor, sehingga harus dihindari. Masyarakat yang mempunyai pengalaman dan pemahaman bahwa pemerintah dan elit politik, baik tingkat pusat maupun daerah, selama ini tidak mampu melakukan perubahan sosial politik bagi perbaikan nasib rakyat banyak.
Masyarakat yang umumnya ada perasaan terasingkan dari politik atau pemerintahan dan cenderung berpikir bahwa pemerintahan dan politik hanya dilakukan oleh dan untuk orang lain, jadi merasakan dan memandang berbagai kebijakan elit politik atau pemerintah tidak lagi bersesuaian dengan sikap dan pemikiran politiknya atau kepentingan rakyat banyak. Mereka memandang elite politik tidak mengalami perubahan yang jelas. Hal ini bisa berasal dari masyarakat yang menjadi korban kebijakan politik pemerintah yang sedang berkuasa.
Ada sebagian masyarakat yang sangat mengerti sekali dengan politik tetapi pemilu tak ubahnya hanya sandiwara politik karena hakikatnya, pemilu hanya akan menguntungkan secara politik dan ekonomi elit politik, namun tetap menyengsarakan rakyat jelata, karena tak berhasil mengubah nasib hak ekonomi, politik, hukum dan budaya.
Golput muncul karena berdasarkan bahwa keberadaan pemilu dan aktivitas memilih tidak akan berdampak lebih baik pada diri pemilih. Hal ini terjadi ditengah masyarakat yang terjebak pada apatisme.
Kecenderungan ini muncul ketika norma-norma sosial yang selama ini disepakati dan dijabarkan dalam suatu masyarakat mengalami kelonggaran, kegoyahan, dan kehilangan fungsinya yang efektif.
Golput bukanlah pilihan tepat dan cenderung mendorong masyarakat apatis. Kondisi ini bisa menciptakan rendahnya legitimasi pemerintah serta mendorong munculnya masyarakat yang antipati terhadap perkembangan politik. Dampaknya akan mendorong lemahnya sarana-sarana politik formal yang ada saat ini.
Seharusnya sikap golput yang ada dimasyarakat sekarang ini sudah tidak cocok lagi karena diera reformasi warga negara bebas untuk mendirikan partai politiknya sendiri (tidak terkekang seperti pada era orde baru) apabila partai-partai politik yang ada sekarang tidak ada yang mewakilkan aspirasi politiknya maka dapat mendirikan partai politik yang mewakilkan aspirasi politik individu itu sendiri.

Rabu, 05 Januari 2011

PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK

Perempuan dan politik merupakan dua hal yang sangat jauh dari angan-angan, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dimana masyarakatnya masih beranggapan bahwa dunia dan perilaku politik adalah identik dengan aktivitas laki-laki karena hal ini dapat dilihat bahwa keberadaan dalam posisi pemimpin (leader) dan pengambil keputusan. Sehingga hal tersebut menyimpan suatu dilema ada yang sangat menyetujuinya, dan ada yang merasa khawatir dengan kompetensi dan aspirasi baru perempuan, walaupun pada akhir-akhir ini mulai banyak pertanyaan dan gugatan diajukan agar perempuan mendapatkan posisi yang setara dengan laki-laki, namun tidak jarang kesetaraan inilah yang paling gampang dijadikan kambing hitam terhadap persoalan antara laki-laki dan perempuan.
Partisipasi perempuan dalam politik dapat di ukur dari seberapa banyak perempuan yang aktif, sejauhmana keterlibatan anggota perempuan pada forum-forum politik serta pada posisi apa perempuan dilibatkan dalam suatu organisasi politik. Meskipun partisipasi perempuan mengalami banyak hambatan, serta sistem dan sumberdaya perempuan sendiri, akan tetapi perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan gender harus terus diperjuangkan oleh kelompok perempuan selama ini, maka partisipasi dalam politik adalah masyarakat khususnya perempuan didalamnya sangat mempengaruhi keputusan pemerintah, bagaimana perempuan dapat mempengaruhi kebijakan politik dan dimana perempuan dalam politik?
Masih minim keterlibatan perempuan dalam politik karena masih ada anggapan bahwa politik adalah wilayah laki-laki sehingga sungkan untuk ikut serta. Pada kenyataannya sekarang peluang bagi perempuan sudah mulai terbuka pada dunia politik sehingga kesempatan yang ada harus diraih, tentunya dengan berbekal pengalaman.
Sudah saatnya perempuan membuang anggapan mengenai dunia politik hanyalah wilayah untuk kaum laki-laki saja, sehingga tak ada keraguan untuk ikutserta. Selain itu terkait keberanian dan kapasitas yang dimiliki kaum perempuan dan faktor lain yang mempengaruhinya. Hal ini terjadi tentu tak terlepas selama puluhan tahun posisi bagi perempuan dalam dunia politik sedikit sekali.
Persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat baik yang berkaitan dengan kebijakan publik atau lingkungan harus berani mengkritisi dan memberi solusi, yang dilihat orang bukan yang menyampaikan kritikan atau saran tetapi isi dari pesan atau solusi yang disampaikannya. Oleh karenanya, perempuan dalam meningkatkan kapasitas, keberanian, dan intelektualitas harus membentuk kelompok-kelompok diskusi yang selalu membicarakan situasi yang berkembang. Hal ini tak akan mungkin seorang tokoh perempuan bisa langsung terbentuk begitu saja tanpa sebelumnya sudah terbiasa berbicara lantang ke publik.
Realitas sebenarnya tak terlepas dari ketidakberanian untuk tampil kedepan publik, pengetahuan yang terbatas khususnya dalam bidang perpolitikan ditambah ketiadaan dana dan beberapa faktor lainnya.
Keberanian merupakan kunci utama kesuksesan bagi seorang perempuan. Perempuan kalau ingin menjadi tokoh atau masuk dalam kancah politik harus berani bicara dalam berbagai bidang di publik.
Selain itu juga ada faktor kelalaian partai politik dalam mencetak kader perempuan selama ini. Karena belum ditempatkan pada posisi yang strategis jadi diharapkan partai politik tidak lagi menempatkan perempuan pada posisi yang tidak terlalu penting, misalnya pada seksi konsumsi.
Ada beberapa hambatan politik yang mungkin dihadapi perempuan, misalnya, kuatnya “model maskulin” dalam kehidupan politik dan badan pemerintahan, kurangnya dukungan partai, dengan kata lain kurangnya dukungan finansial bagi kandidat perempuan, kurangnya akses terhadap jaringan politik dan adanya standar ganda, kurangnya kontak dan kerjasama dengan organisasi publik yang lainnya seperti kelompok buruh dan perempuan, tidak adanya pendidikan yang dikembangkan secara baik maupun sistem training bagi kepemimpinan perempuan secara umum dan bagi pengorientasian perempuan muda melalui kehidupan politik dan yang terakhir adalah sifat dasar sistem pemilihan yang mungkin atau tidak mungkin mendukung kandidat perempuan.
Selain hal tersebut diatas, kurangnya perhatian media terhadap kontribusi dan potensi perempuan yang pada akhirnya menyebabkan kurangnya dukungan politik perempuan. Belum lagi persoalan kepercayaan diri perempuan yang rendah ditambah dengan pola budaya tertentu yang tidak memfasilitasi perempuan dalam mengakses karir politik.
Partisipasi politik perempuan tidak terbatas pada keikutsertaannya dalam lembaga legislatif, tetapi bisa berupa keikutsertaannya dalam pemberian suara untuk memilih calon legislatif maupun kepala negara dan wakilnya yang berkualitas. Partisipasi itu sangat dibutuhkan agar kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berjalan sesuai dengan cita-cita untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Keterlibatan strategis dalam pemberdayaan masyarakat merupakan bentuk aktivitas lain yang dapat dilakukan perempuan dalam pembangunan bangsanya.
Masuknya perempuan dalam politik bukan hanya untuk perempuan, tetapi juga untuk keadilan. Hadirnya perempuan selain untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, juga untuk memperbaiki citra politik yang merefleksikan wilayah yang keras dan kotor.
Perempuan berkeinginan untuk bisa mempengaruhi keputusan-keputusan yang menyangkut kehidupan dan keluarga mereka, perekonomian dan taraf hidup masyarakat, dan pembangunan negaranya. Bentuk perjuangan itu diwujudkan dengan partisipasi perempuan dalam politik.
Perempuan menyadari bahwa partisipasi ekonomi dan politik tidak dapat dipisahkan, maka diperlukan suatu lingkungan institusi yang kondusif dalam memberdayakan perempuan di segala bidang pembangunan, sehingga kaum perempuan ingin memperoleh keadilan adalah hak asasi yang sangat manusiawi. Tata pemerintahan adalah mencakup semua institusi dan organisasi dalam masyarakat yang dimulai dari keluarga sampai tingkat negara. Justru karena perempuan diindentikkan dengan ibu rumah tanggalah semestinya disadari oleh semua pihak bahwa kaum perempuanlah yang berperan sebagai tiang negara.
Peran perempuan tidak boleh diabaikan karena begitu besar tanggungjawab yang di emban dalam menyeimbangkan waktu antara tanggung jawab sebagai bagian dari komunitas masyarakat dalam suatu negara dengan tanggungjawab mengurus rumah tangga.
Partisipasi perempuan dapat dimulai dari lingkungan rumah tangga, desa, kota, hingga tingkat nasional bahkan internasional. Dalam tingkat mikro perempuan berperan dalam lingkungan rumah, organisasi masyarakat dan bahkan ke tingkat makro yaitu partai politik, parlemen dan di struktur pemerintahan. Para pemimpin partai politik sudah seharusnya mulai memperhatikan kebijakan kesetaraan gender dan segera mengimplemetasikannya.
Bentuk kebijakan publik yang akan diterapkan bila perempuan ada di tampuk pembuat kebijakan publik, misalnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan melalui pemberantasan buta huruf, peningkatan pengetahuan, serta mendirikan klinik kesehatan. Kebijakan yang lain adalah adanya ruang untuk ibu menyusui dan toilet khusus ganti popok bayi di tempat-tempat umum, kebijakan harus adanya tempat penitipan anak digedung-gedung perkantoran tempat para perempuan tersebut bekerja dan apabila ada bencana seperti sekarang ini contohnya, bantuan untuk kebutuhan-kebutuhan perempuan yang sangat pribadi seperti keperluan perempuan datang bulan diberikan tidak sekedar baju dan selimut atau makanan saja. Oleh karena itu semua hanya perempuan sajalah biasanya yang mengerti hal-hal tersebut.
Karena hal tersebut diatas maka peran perempuan dalam politik sangatlah penting terutama dalam kebijakan-kebijakan publik pemerintah yang akan diluncurkan ke masyarakat diperlukan adanya perempuan dalam perumusan kebijakan-kebijakan tersebut. Jadi posisi perempuan dalam politik idealnya berada dalam posisi yang strategis untuk perumusan suatu kebijakan pemerintah akan tetapi perempuan jangan diposisikan hanya pada posisi yang tidak strategis atau posisi sebagai pengembira saja.